Kita bersalah apabila kepimpinan hanya kita nilai dari sudut kelompok dalam parti politik sahaja. Memang benar, mereka berada ditampuk itu, mengetuai kerajaan dan mewakili kerajaan dan suara rakyat, namun harus kita ingat bersama. Masih ramai diluar sana yang turut memimpin setidak-tidaknya mereka seharusnya mampu memimpin diri sendiri. Kegagalan pada diri mereka jika ada mungkin dikalangan mereka adalah disebabkan kegagalan mereka untuk memimpin diri mereka sendiri. Gagal mengawal nafsu serakah mereka terhadap pangkat, kuasa dan kedudukan. Bahayanya bukan di sini, tetapi amat di akhirat nanti. Khuatir kita kepada umat kita yang sebenarnya gagal memimpin diri mereka sendiri. Para pemimpin politik ini pada dasarnya datang dari kita, bukan dari angkasa lepas. Buruk mereka sedikit sebanyak menggambarkan apa yang buruk pada diri masyarakat di sekitar mereka. Oleh yang demikian, kita harus sedar dalam memilih untuk menyalahkan kepimpinan, kita juga adalah pemimpin untuk diri kita sendiri, bagaimana kita dan bagaimana pencapaian tugas kita sebagai pemimpin untuk diri sendiri?
Tambahan pula setiap insan ini berhasrat untuk mendirikan rumah tangga. Kegagalan memimpin diri secara peribadi ditambahi dengan bebanan kekeluargaan akibat dari perkahwinan yang semata-mata ingin melepaskan keinginan nafsu kepada teman berlainan jenis. Ini amat berbahaya. Unit kekeluargaan akan terganggu akibat dari ketidakfahaman peranan sebagai suami isteri, sebagai ibu dan bapa. Ini juga merupakan satu kelompok kepimpinan yang seharusnya diberikan perhatian dan diperbaiki hari ini. Kerap kali kita mendengar banyak kes-kes penceraian, pengabaian rumah tangga, penderaan dalam keluarga dan seangkatan dengannya. Siapa pula yang hendak dipersalahkan? Kepimpinan politik negara? Benar, mereka punya peranan menyediakan sarana serta pelbagai keperluan pendidikan, bimbingan serta ruangan untuk rakyatnya mengambil manfaat. Namun, kegagalan kepimpinan asas ini sebenarnya pasti akan menggagalkan sebarang usaha yang dibuat dari pihak kepimpinan politik kerajaan. Usahanya gagal akibat dari tiada nilai kepimpinan yang benar pada diri sendiri. Gagal berkata benar, gagal menilai hak diri dan hak orang lain, mengutamakan kesenangan sendiri, pertimbangan hanya untuk kebaikan sendiri bahkan jika dapat pada orang maka kita merasakan bahawa sepatutnya kita juga dapat, jika tidak maka itu tidak adil.
Sebab itulah, kepimpinan bukan kedudukan. Kepimpinan adalah amanah dan tanggungjawab. Kepimpinan adalah sesuatu yang diberikan kepercayaan untuk dilaksana baik sebagai kepimpinan politik dalam kerajaan, pembangkang, ahli parlimen termasuklah kepada diri sendiri. Kita sudah diletakkan sebagai pemimpin. Allah. Ingat apa kata Allah s.w.t di dalam surah Al-Baqarah ayat 30 hingga 33? “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku me-ngetahui apa yang tidak Engkau ketahui.” Dia mengajar kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian memaparkannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda itu, jika kamu ‘orang-orang’ yang benar.” Mereka berkata: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan kamu sembunyikan?”
Allah telah memilih insan atau manusia itu sebagai khalifah. Dekan Fakulti Adab dan Humaniora dari Universiti Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Profesor Dr. Oman Fathurahman menyatakan, kata khalifah itu memiliki dua keterangan menurut Islam. Pertama, khalifah itu sendiri secara umum, sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana yang termaktub pada ayat di atas. Manakala, yang kedua secara khusus dimaksudkan sebagai pengganti Nabi Muhammad sallallahu'alaihiwasallam, sebagai pemimpin agama dan negara.
“Dalam sejarah kesultanan di Nusantara, para sultan banyak yang menggunakan gelar ‘Khalifatullah fil Ardh’ atau Khalifah di muka bumi, yang bisa dianggap mengandung dua arti sekaligus, baik sebagai manusia sempurna (insan kamil) makhluk Tuhan, maupun sebagai raja, wakil Tuhan untuk mengelola bumi. Apapun makna khalifah yang dirujuk, jelas bahwa misi Tuhan menjadikan manusia atau pemimpin sebagai khalifah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan bagi semesta,” terang Profesor Oman, Rabu (15/1/2020).
Walaupun sedemikina, Profesor Oman menjelaskan, mengikuti perkembangan zama yang telah ada pelbagai keragaman manusia ini, termasuklah dalam pemilihan perkataan pemimpin dan sistem pemerintahan, maka makna khalifah ini perlu diberikan makna secara substantif dalam konteks masing-masing. “Makna substantif yang tidak boleh hilang adalah khalifah sebagai pengemban kemaslahatan dan keadilan. Oleh karena itu, semua pemimpin harus bisa mewujudkan kemaslahatan dan keadilan itu sebagaimana menjalankan praktik agama juga harus dipahami sebagai bagian dari komitmen dalam mewujudkan kemaslahatan bernegara,” ujar Profesor Oman.
Jelas, kepimpinan bukan soal di mana kita duduk, tinggi mana pangkat kita. Ia sebenarnya adalah beban yang ditanggungkan atas pundak kita untuk diselesaikan dan diberikan pertimbangan keadilan sewajarnya. Amanah yang akan dipertanggungjawabkan bukan sekadar pada keinginan sesebuah kelompok manusia atau parti, bahkan pada penilaian Allah s.w.t. yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Semoga kita berupaya untuk menjadikan diri kita sebagai khalifah yang bertanggungjawab bermula untuk diri, keluarga, kejiranan, masyarakat dan negara.
Comments